Onion Club - Onion Head - Onion-kun Catatan Kuliah Sang Adenz: Januari 2013

Senin, 07 Januari 2013

Tugas MK Pemecahan Masalah Bidang Pertanian - Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap Sistem Irigasi/Pengairan Pertanian Tradisional Ataupun Modern “DAS Bengawan Solo dan Irigasi Subak”

ABSTRAK

Meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi akibat peningkatan jumlah emisi “Gas Rumah Kaca” di atmosfer. Pemanasan ini akan diikuti dengan Perubahan Iklim, seperti meningkatnya curah hujan di beberapa belahan dunia yang menyebabkan menimbulnya banjir dan erosi. Perubahan iklim berdampak pada penataan ruang sistem pertanian terutama pada sistem irigasi. Kenaikan temperatur rata-rata sejak 1850-1899 hingga 2001- 2005 adalah 0.760C dan muka air laut global telah meningkat dengan laju rata-rata 1.8 mm/tahun dalam rentang waktu 40 tahun terakhir. Sistem irigasi adalah sistem pengairan untuk mengairi sawah agar tidak terjadi kekurangan air pada tanaman. Permasalahan yang dihadapi dari perubahan iklim adalah sistem irigasi didaerah.

Kata kunci : Pemanasan global, perubahan iklim, sistem irigasi


1. Pendahuluan

Meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi akibat peningkatan jumlah emisi “Gas Rumah Kaca” di atmosfer adalah penjelasan singkat dari apa yang selama ini kita sebut dengan “Pemanasan Global”. Pemanasan ini akan diikuti dengan Perubahan Iklim, seperti meningkatnya curah hujan di beberapa belahan dunia yang menyebabkan menimbulkan banjir dan erosi. Sedangkan di belahan bumi lain akan mengalami musim kering yang berkepanjangan akibat kenaikan suhu. Pemanasan Global dan Perubahan Iklim terjadi akibat aktivitas manusia, terutama yang berhubungan dengan penggunaan bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara) serta kegiatan lain yang berhubungan dengan hutan, pertanian, dan peternakan. Aktivitas manusia di kegiatan-kegiatan tersebut secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan perubahan komposisi alami atmosfer, yaitu peningkatan kuantitas Gas Rumah Kaca secara global. Bukti sudah menunjukkan bahwa perubahan iklim sudah terjadi akibat pemanasan global. Rata-rata suhu bumi diprediksikan akan meningkat 1,5 sampai 3,5oC sampai abad ke 21 dan presipitasi meningkat sekitar ±20% dari tahun 1990. Bumi diperkirakan akan mengalami variabilitas presipitasi dimana meningkatnya curah hujan dengan intensitas yang tinggi dan sehingga bumi rentan akan banjir dan kekeringan. Banjir dan musim kemarau panjang merupakan dampak perubahan iklim tidak saja berpengaruh terhadap ketersediaan air dan kualitas air permukaan(Henny dan Triyanto, 2011).

Kenaikan temperatur rata-rata sejak 1850-1899 hingga 2001- 2005 adalah 0.760C dan muka air laut global telah meningkat dengan laju rata-rata 1.8 mm/tahun dalam rentang waktu 40 tahun terakhir (1961-2003). Kenaikan total muka air laut yang berhasil dicatat pada awal abad 20 diperkirakan sebesar 17 cm. Laporan tersebut juga menyatakan bahwa kegiatan sosial-ekonomi manusia (antropogenik) memberikan kontribusi yang besar dalam peningkatan temperatur tersebut, sehingga tanpa upaya yang terstruktur dan berkesinambungan, dampak yang akan terjadi pada masa mendatang akan menjadi sangat serius. Perubahan Iklim dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) fenomena berikut :

1. Meningkatnya temperatur udara;
2. Meningkatnya curah hujan;
3. Kenaikan muka air laut;
4. Meningkatnya intensitas kejadian ekstrim yang diantaranya adalah :
‐ Meningkatnya intensitas curah hujan pada musim basah,
‐ Meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir secara ekstrim,
‐ Berkurangnya curah hujan dan debit sungai pada musim kemarau serta bertambah panjangnya periode musim kering,
- Menurunnya kualitas air pada musim kemarau,
‐ Meningkatnya intensitas dan frekuensi badai tropis,
‐ Meningkatnya tinggi gelombang dan abrasi pantai, dan
‐ Meningkatnya intrusi air laut.

Sistem irigasi adalah sistem pengairan untuk mengairi sawah agar tidak terjadi kekurangan air pada tanaman. Permasalahan yang dihadapi dari perubahan iklim adalah sistem irigasi yang perlu dikaji lebih dalam pada daerah atau persawahan. Sistem irigasi yang akan dibahas menyangkut pada Daerah Aliran Sungai atau DAS. Daerah Aliran Sungai merupakan sumberdaya air yang mengaliri sungai-sungai sehingga terdapat irigasi disetiap sawah karena adanya sistem DAS tersebut. Selain itu juga tentang masalah irigasi di Subak Bali.


2. Permasalahan

1. Permasalahan yang dihadapi DAS Bengawan Solo akibat perubahan iklim?
2. Pengaruh perubahan iklim terhadap sistem irigasi subak?
3. Solusi yang dapat diberikan untuk mengatasi permasalahan irigasi subak dan DAS Bengawan Solo?


3. Pembahasan

Pengelolaan irigasi hakekatnya adalah sebuah sistem yang tidak dapat dipisah-pisahkan satu sama lainnya menurut jenjang daerah irigasi. Semakin tinggi jenjangnya, semakin luas jangkauannya dan semakin luas pula berbagai pihak yang berkepentingan terhadap keberadaan sumberdaya air yang ada di sana. Berikut adalah ilustrasi yurisdiksi sistem irigasi dalam sebuah Daerah Aliran Sungai (DAS): Pengertian daerah aliran sungai (DAS) adalah keseluruhan daerah kuasa (regime) sungai yang menjadi alur pengatus (drainage) utama. Pengertian DAS sepadan dengan istilah dalam bahasa inggris drainage basin, drainage area, atau river basin. Sehingga batas DAS merupakan garis bayangan sepanjang punggung pegunungan atau tebing/bukit yang memisahkan sistim aliran yang satu dari yang lainnya. Dari pengertian ini suatu DAS terdiri atas dua bagian utama daerah tadah (catchment area) yang membentuk daerah hulu dan daerah penyaluran air yang berada di bawah daerah tadah. Optimalisasi penggunaan lahan di Kawasan DAS Bengawan Solo merupakan hasil simulasi guna lahan dengan menggunakan pemodelan hidrologi dan geologi lingkungan. Beberapa kondisi di DAS Bengawan Solo berdasarkan pemodelan tersebut adalah sebagai berikut : 

• Perubahan lahan hutan menjadi perkebunan, ladang, sawah, dan permukiman yang terjadi di DAS Bengawan Solo menimbulkan puncak dan volume banjir yang semakin besar;
• Besarnya banjir dari anak-anak sungai tergantung juga dari jenis tanah selain dari perubahan fungsi lahan dan karakteristik hidrologi seperti kemiringan dan panjang sungai;
• Daerah yang rentan terhadap pertambahan banjir adalah sub-sub DAS yang mengandung jenis tanah berkemampuan meresapkan air ke dalam tanah cukup tinggi (daerah resapan);
• Sub-sub DAS dengan alih fungsi lahan hutan menjadi perkebunan, ladang, sawah, dan permukiman terjadi pada sebagian besar kawasan sehingga menimbulkan pertambahan puncak dan volume banjir lebih dari 100%;
• Sub-sub DAS dengan dominasi jenis tanah kurang mampu meresapkan air (kemampuan melewatkan air di permukaan tanah cukup tinggi) biasanya rentan terhadap perubahan fungsi lahan seperti diketemukan pada bagian hulu sub-DAS Kali Madiun dan sebagian besar sub DAS Bengawan Solo Hilir;
• Perubahan guna lahan mempengaruhi tinggi rendahnya debit puncak dan volume banjir.
• Komposisi guna lahan seperti sekarang menimbulkan puncak dan volume banjir makin besar dibandingkan dengan guna lahan sebelumnya di tahun 1964 untuk sub DAS Bengawan Solo Hilir;
• Pengembalian fungsi konservasi hutan pada beberapa kawasan akan memiliki pengaruh yang lebih signifikan terhadap pengurangan debit puncak dan volume banjir apabila dikombinasikan dengan penerapan Low Impact Development (LID);

Beberapa kondisi di Kawasan DAS Bengawan Solo berdasarkan pemodelan perubahan iklim tersebut yaitu :

• Hujan di kawasan DAS Bengawan Solo mengakibatkan banjir cenderung bertambah besar;
• Hujan tahunan yang cenderung berkurang disertai dengan alih fungsi lahan mengakibatkan aliran air di musim kemarau berkurang sehingga intensitas kekeringan bertambah besar;
• Untuk 30 tahun mendatang, perubahan iklim akan mengakibatkan banjir bertambah 50% dan perubahan guna lahan akan mengakibatkan banjir bertambah 53%;
• Jika proses perubahan iklim terjadi saat perubahan guna lahan, maka puncak dan volume banjir akan bertambah sebesar 135%.

Pengaruh perubahan iklim terhadap sistem irigasi subak

Sistem subak merupakan suatu warisan budaya Bali yang berupa suatu sistem irigasi yang mengatur pembagian pengelolaan airnya yang berdasarkan pada pola-pikir harmoni dan kebersamaan yang berlandaskan pada aturan-aturan formal dan nilai-nilai agama. Pengelolaan sistem irigasi konvensional cenderung hanya berdasarkan pada konsep-konsep efisiensi berdasarkan aturan-aturan formal, dengan pola pikir ekonomik. Sementara itu, konsep-konsep efektivitas, nilai-nilai religi, dan pengelolaan sistem irigasi yang berlandaskan harmoni dan kebersamaan, ditata secara baik dan fleksibel pada sistem subak di Bali ini. Untuk memperoleh penggunaan air yang optimal dan merata, air yang berlebihan dapat dibuang melalui saluran drainasi yang tersedia pada setiap komplek sawah milik petani. Sementara itu, untuk mengatasi masalah kekurangan air yang tidak terduga, mereka melakukannya dengan cara-cara seperti :
1. Saling pinjam meminjam air irigasi antar anggota subak dalam satu subak, atau antar subak yang sistemnya terkait.
2. Melakukan sistem pelampias, yakni kebijakan untuk memberikan tambahan air untuk lahan sawah yang berada lebih di hilir. Jumlah tambahan air ditentukan dengan kesepakatan bersama.
3. Melakukan sistem pengurangan porsi air yang harus diberikan pada suatu komplek sawah milik petani tertentu, bila sawah tersebut telah mendapatkan tirisan air dari suatu kawasan tertentu di sekitarnya.
4. Jika debit air irigasi sedang kecil, petani anggota subak tidak dibolehkan ke sawah pada malam hari, pengaturan air diserahkan kepada pengurus Subak.

Kelemahan paling menonjol dari sistem irigasi tradisional adalah ketidakmampuannya untuk membendung pengaruh luar yang menggerogoti artefaknya, yang terwujud dalam bentuk alih fungsi lahan, sehingga eksistensi sistem irigasi tradisional termasuk didalamnya sistem subak di Bali menjadi terseok-seok.

• Musim kemarau yang berkepanjangan dan musim penghujan yang tidak menentu akibat perubahan iklim dan pemanasan global. Hal ini berdampak terhadap jenis padi yang ditanam oleh petani. Jenis padi lokal membutuhkan waktu untuk dipanen enam bulan sekali, berarti waktu yang cukup lama dan membutuhkan air yang banyak. Ketidakpastian musim penghujan jelas akan mempengaruhi pemilihan jenis padi yang ditanam.
• Keterbatasan pasokan air. Saat ini pasokan air digunakan bukan saja untuk domestik dan irigasi pertanian, tetapi juga untuk keperluan non pertanian seperti industri pariwisata yang banyak membutuhkan air bersih. Akibatnya pasokan air untuk lahan pertanian menjadi berkurang.


4. Hasil dan Diskusi Dalam rangka meningkatkan kemampuan untuk mengantisipasi penyimpangan iklim, langkah-langkah umum yang dapat dilakukan diantaranya :

(1) melakukan pemetaan daerah-daerah yang sensitif terhadap penyimpangan iklim terutama akibat fenomena ENSO,
(2) meningkatkan kemampuan peramalan dan memanfaatkan prakiraan iklim sehingga langkah antisipasi dapat dilakukan lebih awal, khususnya pada daerah-daerah yang rawan, dan
(3) menerapkan teknologi budidaya (dalam bidang pertanian) yang dapat menekan risiko terkena dampak kejadian puso/gagal panen. Selain itu, berbagai langkah antisipasi yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi dampak penyimpangan iklim terhadap bencana banjir dan kekeringan pada sektor pertanian telah dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat antara lain :

• Pembuatan waduk untuk menampung air hujan, sehingga tidak terjadi banjir dan memanfaatkannya untuk irigasi atau lainnya pada saat kekurangan air (kekeringan).
• Pembuatan embung mulai dari hulu hingga hilir. Embung ini dapat dimanfaatkan untuk :
a) Mengurangi dan atau meniadakan aliran permukaan (run off)
b) Meningkatkan infiltrasi air ke dalam tanah, sehingga meningkatkan cadangan air tanah, kandungan air tanah disekitar embung tetap tinggi dan untuk daerah dekat pantai dapat digunakan untuk menekan intrusi air laut.
c) Mencegah erosi
d) Menampung sedimen dan sedimen tersebut mudah diangkut karena ukuran embung yang relatif kecil.
e) Sebagian air embung dapat digunakan sebagai cadangan pada musim kemarau.
• Memilih tanaman yang sesuai dengan pola hujan, misal: menggunakan tanaman atau varietas yang tahan genangan, tahan kering, umur pendek dan persemaian kering; kombinasi tanaman, sehingga kalau sebagian tanaman mengalami puso, yang lainnya tetap bertahan dan memberikan hasil.
• Melakukan sistem pertanian konservasi seperti terasering, menanam tanaman penutup tanah, melakukan pergiliran tanaman dan penghijauan DAS (Daerah Aliran Sungai).
• Pompanisasi dengan memanfaatkan air tanah, air permukaan, air bendungan atau checkdam, dan air daur ulang dari saluran pembuangan.
• Efisiensi penggunaan air seperti gilir iring dan irigasi hemat air.
1. Perbaikan dan pemeliharaan jaringan pengairan di tingkat usaha tani.
2. Memberi bantuan penanggulangan seperti : benih, pompa air, arakton.
3. Upaya-upaya khusus lain seperti gerakan percepatan tanam dan pengolahan tanah.

Perlu adanya penanganan terhadap Daerah Aliran Sungai dimulai dari penambahan pohon di sekitar DAS sehingga ada penahan air untuk menjaga kelestarian lingkungan. Mengatur alih fungsi lahan agar dapat mengurangi dampak perubahan iklim, karena perubahan iklim disebabkan karena berkurangnya tanaman terutama pohon tahunan sehingga penyerapan unsur karbon dioksida berkurang menyebabkan timbulnya masalah gas rumah kaca. Hutan mempunyai peranan penting dalam mengkonservasi DAS. Dengan semakin berkurangnya hutan, maka timbul berbagai masalah dalam pengelolaan DAS, karena hutan mempunyai sifat :
• Meredam tingginya debit sungai pada musim hujan, dan berpotensi memelihara kestabilan aliran air sungai pada musim kemarau
• Mempunyai serasah yang tebal sehingga memudahkan air meresap ke dalam tanah dan mengalirkannya secara perlahan ke sungai. Selain itu, lapisan serasahnya juga melindungi permukaan tanah dari gerusan aliran permukaan sehingga erosi pada tanah hutan sangat rendah.
• Mempunyai banyak pori makro dan pipa di dalam tanah yang memungkinkan pergerakan air secara cepat ke dalam tanah. Karena sifat-sifat hutan yang menguntungkan tersebut, maka hutan perlu dipertahankan. Apabila hutan sudah terlanjur dibuka (terutama pada bagian DAS yang peka erosi), penggunaan lahannya perlu diusahakan supaya mendekati bentuk hutan. Sistem agroforestri pada dasarnya ditujukan untuk mengembalikan berbagai fungsi hutan.


4. Kesimpulan

Dari pembahasan diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Pengelolaan irigasi hakekatnya adalah sebuah sistem yang tidak dapat dipisah-pisahkan satu sama lainnya menurut jenjang daerah irigasi.
2. Permasalahan yang timbul akibat perubahan iklim terlihat pada DAS bengawan Solo dan Irigasi Subak.
3. Musim kemarau yang berkepanjangan dan musim penghujan yang tidak menentu akibat perubahan iklim dan pemanasan global.
4. Penanganan irigasi dimulai dari penghijauan Daerah Aliran Sungai untuk mengatasi masalah air.
5. Terdapat banyak solusi yang dapat ditawarkan untuk menangani masalah irigasi salah satunya memanfaatkan informasi dan prakiraan iklim untuk memberikan peringatan dini dan rekomendasi pada masyarakat.


Daftar Pustaka

BKPRN (Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional). 2011. Penanganan DAS Bengawan Solo di Masa Datang. Buletin Tata Ruang

Henny,C dan Triyanto. 2011. Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap Kualitas Air Danau Galian Tambang di Pulau Bangka. Prosiding Nasional Ekohidrologi

Sutrina. 2011. Sistem Subak sebagai Sistem Irigasi Masa Depan. http://indone5ia.wordpress.com/2011/07/17/sistem-subak-sebagai-sistem-irigasi-masa-depan/. Diakses pada tanggal 10 Desember 2012

Anonim. 2005. Bebas Banjir. http://bebasbanjir2025.wordpress.com/04-konsep-konsep-dasar/mimpi-tentang-das-ciliwung/. Diakses pada tanggal 10 Desember 2012

Yanto,H. 2009. Upaya Pemberdayaan Masyarakat Irigasi Pertanian. Makasar: Tugas Akhir

Minggu, 06 Januari 2013

Laporan Pengelolaan Limbah Pertanian - Pupuk Bokashi

BAB 1. PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Beberapa lahan dan tanah pertanian pada saat ini mengalami kerusakan dan penurunan tingkat kesuburan tanah yang sangat memerlukan solusi penanganan secara efektif dan maksimal. Hal ini dapat mengakibatkan dampak yang besar bagi kehidupan manusia dan lingkungan sekitarnya. Pupuk memegang peranan yang sangat penting di dalam budidaya tanaman. Tanaman membutuhkan pupuk yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan unsur hara dan agar dapat tumbuh serta berkembang dengan baik. Penggunaan bahan-bahan alami seperti kompos memberikan keuntungan bagi tanah, tanaman dan lingkungan. Proses pembuatan kompos juga menjadi salah satu solusi masalah sampah yang semakin memerlukan penanganan yang bijaksana.

Berdasarkan kenyataan di lapangan, persediaan bahan organik pada lahan pertanian sedikit demi sedikit semakin berkurang. Jika hal tersebut tidak ditambah dan segera diperbaiki oleh petani maka penurunan produksi akan terjadi pada tanaman-tanaman pertanian, seperti padi, palawija dan sayuran. dan keterampilan petani dalam masalah penggunaan pupuk bokasi secara praktis di lapangan. Pemanfaatan bahan-bahan organik seperti yang dihasilkan dari limbah ternak telah banyak dilakukan. Limbah organik yang dihasilkan oleh ternak memiliki potensi yang cukup tinggi untuk dikembangkan menjadi pupuk kompos. Pengolahan pupuk kompos dapat dilakukan dengan hanya menimbun limbah organik tersebut dalam tanah untuk ditunggu selama kurang lebih tiga bulan dan kemudian menjadi kompos, atau dapat dilakukan dengan bantuan mikroorganisme khusus yang dapat mengubah sampah organik tersebut menjadi pupuk kompos dalam hitungan hari.

Kata bokashi berasal dari bahasa jepang yang artinya kira-kira bahan-bahan organik yang sudah diuraikan (difermentasi). Pupuk bokasi merupakan salah satu bentuk pupuk organik yang terbuat dari campuran antara bahan-bahan organik dan pupuk kandang yang difermentasi atau didekomposisi oleh mikroorganisme. Bokashi adalah hasil fermentasi bahan-bahan organik seperti sekam, serbuk gergajian, jerami, kotoran hewan dan lain-lain. Bahan-bahan tersebut difermentasikan dengan bantuan mikroorganisme aktivator yang mempercepat proses fermentasi. Campuran mikroorganisme yang digunakan untuk mempercepat fermentasi dikenal sebagai effective microorganism (EM). Penggunaan EM tidak hanya mempercepat proses fermentasi tetapi juga menekan bau yang biasanya muncul pada proses penguraian bahan organik.

1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui cara pembuatan pupuk kompos / bokashi yang berasal dari limbah pertanian.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi proses pembuatan pupuk kompos / bokashi.


BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

Saat ini ada beberapa jenis pupuk organik sebagai pupuk alam berdasarkan bahan dasarnya, yaitu pupuk kandang, kompos, humus, pupuk hijau, dan pupuk mikroba. Sedangkan ditinjau dari bentuknya ada pupuk organik cair dan ada pupuk organik padat. Sebagai contoh kompos merupakan contoh pupuk organik padat yang dibuat dari bahan organik padat (tumbuh-tumbuhan), sedangkan thilurine adalah pupuk organik cair yang dibuat dari bahan organik cair (urine sapi). Pupuk organik dapat dibuat dari limbah, contohnya limbah peternakan sapi perah, baik berupa feses maupun urinenya dapat dijadikan bahan pembuatan pupuk organik. (Musnamar, 2003). Upaya untuk meningkatkan produktivitas lahan secara berkelanjutan adalah melalui terobosan inovasi teknologi yang mengarah pada efisiensi usahatani dengan memanfaatkan sumberdaya lokal. Pelestarian lingkungan produksi, termasuk mempertahankan kandungan bahan organik tanah dengan memanfaatkan limbah pertanian sebagai sumber bahan organik tanah, diharapkan mampu meningkatkan produksi padi. Bahan organik selain dapat meningkatkan kandungan C-organik tanah, juga merupakan sumber hara. Penambahan bahan organik merupakan suatu tindakan perbaikan lingkungan tumbuh tanaman yang dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk. Salah satu sumber bahan organik lokal yang mudah diperoleh dan cukup potensial sebagai sumber bahan organik tanah adalah jerami padi (Sirappa, 2007).

Pemupukan yang tidak berimbang dan dalam pemakaian jangka panjang dapat menurunkan pH tanah. Pemupukan secara organik mampu berperan memobilisasi atau menjembatani hara yang sudah ada di tanah sehingga mampu membentuk partikel ion yang mudah diserap oleh akar tanaman . Selain itu, pupuk organik mengandung unsur hara yang lengkap, baik unsur hara makro maupun unsur hara mikro. Kondisi ini tidak dimiliki oleh pupuk buatan (Gomies, 2012). Kompos merupakan sisa bahan organik yang berasal dari tanaman, hewan, dan limbah organik yang telah mengalami proses dekomposisi atau fermentasi. Jenis tanaman yang sering digunakan untuk kompos di antaranya jerami, sekam padi, tanaman pisang, gulma, sayuran yang busuk, sisa tanaman jagung, dan sabut kelapa. Bahan dari ternak yang sering digunakan untuk kompos di antaranya kotoran ternak, urine, pakan ternak yang terbuang, dan cairan biogas. Tanaman air yang sering digunakan untuk kompos di antaranya ganggang biru, gulma air, eceng gondok, dan azola. Kompos digunakan dengan cara menyebarkannya di sekeliling tanaman. Kompos yang layak digunakan adalah yang sudah matang, ditandai dengan menurunnya temperatur kompos di bawah 400C (Praatmaja, 2006).

Kompos diketahui mampu memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Kompos mengandung hara makro dan mikro namun secara umum kadarnya rendah bergantung dari jenis bahan organiknya, Oleh karena itu diperlukan sumber hara lain yang berkadar hara tinggi yang dapat meningkatkan kadar hara kompos. Kompos akan meningkatkan kesuburan tanah, merangsang perakaran yang sehat. Kompos memperbaiki struktur tanah dengan meningkatkan kandungan bahan organik tanah dan akan meningkatkan kemampuan tanah untuk mempertahankan kandungan air tanah. Aktivitas mikroba tanah yang bermanfaat bagi tanaman akan meningkat dengan penambahan kompos. Aktivitas mikroba ini membantu tanaman untuk menyerap unsur hara dari tanah dan menghasilkan senyawa yang dapat merangsang pertumbuhan tanaman. Aktivitas mikroba tanah juga diketahui dapat membantu tanaman menghadapi serangan penyakit. lewat proses alamiah. Namun proses tersebut berlangsung lama sekali padahal kebutuhan akan tanah yang subur sudah mendesak. Oleh karenanya proses tersebut perlu dipercepat dengan bantuan manusia. Dengan cara yang baik, proses mempercepat pembuatan kompos berlangsung wajar sehingga bisa diperoleh kompos yang berkualitas baik (Murbandono, 2000).

Pengomposan adalah proses dekomposisi terkendali secara biologis terhadap limbah padat organik diubah menyerupai tanah seperti halnya humus atau mulsa. Kompos telah dipergunakan secara meluas selama ratusan tahun dalam menangani limbah pertanian sekaligus sebagai pupuk alami tanaman (Hadiwiyoto,1983). Pupuk kandang yang telah siap diaplikasikan memiliki ciri dingin, remah, wujud aslinya tidak tampak, dan baunya telah berkurang. Jika belum memiliki ciri-ciri tersebut, pupuk kandang belum siap digunakan. Penggunaan pupuk yang belum matang akan menghambat pertumbuhan tanaman, bahkan bisa mematikan tanaman. Penggunaan pupuk kandang yang baik adalah dengan cara dibenamkan, sehingga penguapan unsur hara akibat prose kimia dalam tanah dapat dikurangi. Penggunaan pupuk kandang yang berbentuk cair paling bauk dilakukan setelah tanaman tumbuh, sehingga unsur hara yang terdapat dalam pupuk kandang cair ini akan cepat diserap oleh tanaman (Sulistyorini, 2005).


BAB 3. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Praktikum Pengelolaan Limbah dalam pembuatan pupuk bokashi dilaksanakan pada tanggal 29 November 2012 pukul 14.00 WIB di Jurusan Hama Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Jember.

3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
1. Pengaduk
2. Alat tulis

3.2.2 Bahan
1. Jerami / Daun sisa tanaman / Buah rusak
2. Arang sekam / Serbuk gergaji
3. Bekatul
4. Tetes / larutan gula pasir
5. EM4
6. Air Secukupnya

3.3 Cara Kerja

1. Melarutkan EM4 dan tetes ke dalam air (komposisi 2cc EM4 tets 4cc per liter air). Sebaiknya larutan tersebut dibiarkan selama 24 jam terlebih dahulu, dengan maksud untuk member kesempatan agar bakteri EM4 bisa tumbuh lebih kuat.
2. Kotoran hewan / jerami / sisa tanaman / buah rusak dicampur merata dengan serbuk gergaji, dan dicampur dedak dicampur secara merata.
3. Siramkan larutan nomor 1 secara perlahan – lahan ke dalam adonan nomor 2 dan diaduk – aduk secara merata sampai kandungan air dalam adonan mencapai 60% (tidak boleh terlalu encer dan kurang air).
4. Adonan digundukkan / di ler / di tiris di tempat yang kering dengan ketinggian 15 -20 cm, kemudian ditutup dengan karung goni selama 3-4 hari di tempat yang tidak terkena sinar matahari.
5. Setelah 4 hari bokashi telah selesai fermentasi dan siap digunakan Khusus untuk bokashi kotoran ternak
6. Adonan yang sudah di ler /tiris, selanjutnya bagian permukaanya ditaburi bekatul tipis –tipis. Kemudian diberi larutan EM4 dan tetes yang telah diencerkan.
7. Pertahankan suhu gundukan antara 40 -60 derajat C (hangat kuku). Bila suhu lebih dari 50 derajat C karung dibuka dan gundukan adonan dibolak – balik, selanjutnya ditutup kembali dengan karung goni. Pengecekan suhu dilakukan setiap 5 jam, jika suhu terlalu tinggi bokashi akan rusak karena terjadi pembusukan.
8. Setelah 4 hari bokasi telah selesai fermentasi dan siap digunakan sebagai pupuk organik.


BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Data Hasil Pengamatan
Kelompok
Perlakuan bahan
Hasil
Keterangan
1
Kotoran kambing
Jerami
Bau: tidak berbau
Warna : coklat kehitaman
Tekstur : menggumpal
Suhu : hangat
Ada Jamur
2
Kotoran sapi
Sayuran
Buah
Bau: tidak berbau ( bau tanah)
Warna : coklat
Tekstur : masir / remah
Suhu : hangat
Ada Jamur
3
Sayuran
Bau: sangat berbau
Warna : hitam
Tekstur : becek / menggumpal
Suhu : tidak hangat
Tidak Ada
Jamur
4
Kotoran kambing
Kotoran sapi
Bau: tidak berbau
Warna : coklat
Tekstur : masir / remah
Suhu : hangat
Tidak Ada
Jamur


4.2 Pembahasan

Bokashi adalah pupuk kompos yang dihasilkan dari proses fermentasi atau peragian bahan organik (jerami, pupuk kandang, arang sekam, serbuk gergaji, gulma, sisa tanaman tak berguna, sampah pasar) dengan menggunakan teknologi EM4 (Effective Microorganisms 4). Pemanfaatan EM (effective microorganism) dalam pembuatan kompos telah banyak dilakuakan berdasarkan pada tingkat proses fermentasi yang lebih cepat dan mempercepat pengomposan sampah organik atau kotoran hewan, membersihkan air limbah, serta meningkatkan kualitas air pada tambak udang dan ikan. EM-4 merupakan kultur campuran dari mikroorganisme yang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman. Sebagian besar mengandung mikroorganisme Lactobacillus sp. bakteri penghasil asam laktat, serta dalam jumlah sedikit bakteri fotosintetik Streptomyces sp. dan ragi. EM-4 mampu meningkatkan dekomposisi limbah dan sampah organik, meningkatkan ketersediaan nutrisi tanaman serta menekan aktivitas serangga hama dan mikroorganisme patogen.

Dari hasil praktikum yang telah dilakukan, terlihat ada beberapa perlakuan yang menampakkan hasil yang cukup baik yaitu kelompok 1, 2, dan 4. Sementara, kelompok 3 belum menunjukkan keberhasilan proses pengomposan berdasarkan indikator yang ada. Pupuk bokashibuatan kelompok 1 menunjukkan tidak berbau, warna coklat kehitaman dengan tekstur yang menggumpal dan suhu yang hangat disertai pertumbuhan jamur. Untuk kelompok 2, baunya seperti tanah, warna coklat dengan terkstur remah / pasir dan suhu yang hangat disertai pertumbuhan jamur. Dan kelompok 4 menunjukkan tidak berbau, warna coklat dengan tektur yang masir / remah dan suhu yang hangat namun tidak ada pertumbuhan jamur. Berbeda dengan kelompok yang lain, kelompok 3 menunjukkan indikator bau yang sangat berbau, warna hitam dengan tekstur yang becek / menggumpal dan suhu yang tidak hangat serta tidak ada pertumbuhan jamur.

Faktor yang mempengaruhi proses pengomposan antara lain :
1. Rasio C/N
Kecepatan dekomposisi bahan organik ditunjukkan oleh perubahan rasio C/N. selama proses demineralisasi, rasio C/N bahan-bahan yang mengandung N akan berkurang menurut waktu. Kecepatan kehilangan C lebih besar daripada N sehingga diperoleh rasio C/N yang lebih rendah (10-20). Apabila rasio C/N sudah mencapai angka tersebut, artinya proses dekomposisi sudah mencapai tingkat akhir atau kompos sudah matang.
2. Suhu Pengomposan
Faktor suhu sangat berpengaruh terhadap pengomposan. Suhu optimum bagi pengomposan adalah 40 – 60oC. Jika suhu pengomposan mencapai 40oC, aktivitas mikroorganisme mesofil akan digantikan oleh mikroorganisme termofil. Jika suhu mencapai 60oC, fungi akan berhenti bekerja dan proses perombakan dilanjutkan oleh aktinomicetes serta strain bakteri pembentuk spora.
3. Tingkat Keasaman pH
Salah satu faktor bagi pertumbuhan mikroorganisme yang terlibat dalam proses pengomposan adalah tingkat keasaman. Karena itu, pengaturan pH selama proses pengomposan perlu dilakukan. Pada awal pengomposan, reaksi cenderung agak asam karena bahan organik yang dirombak menghasilkan asam-asam organik sederhana. Namun pH akan mulai naik sejalan dengan waktu pengomposan dan akhirnya akan stabil pada pH sekitar netral.
4. Jenis Mikroorganisme yang terlibat
Proses pengomposan bila dipercepat dengan menambahkan starter atau aktivator yang kandungannya berupa mikroorganisme (kultur bakteri), enzim, dan asam humat. Mikroorganisme yang ada di dalam aktivator akan merangsang aktivitas mikroorganisme yang ada dalam bahan kompos sehingga cepat berkembang. Akibatnya, mikroorganisme yang terlibat dalam pengomposan semakin banyak dan proses dekomposisi akan semakin cepat.
5. Aerasi
Aerasi yang baik sangat dibutuhkan agar proses dekomposisi (pengomposan) bahan organik berjalan lancar. Pada umumnya pengaturan aerasi dilakukan dengan cara membalik-balikkan tumpukan bahan kompos secara teratur.
6. Kelembapan
Kelembapan optimum untuk proses pengomposan aerobik sekitar 50-60% setelah bahan organik dicampur. Selama proses pengomposan berlangsung, kelembapan dalam tumpukan bahan kompos harus terus dikontrol.
7. Ukuran Bahan Baku
Ukuran bahan baku kompos akan mempengaruhi kecepatan proses pengomposan. Semakin kecil ukuran bahan proses pengomposan akan semakin cepat berlangsung.

Untuk mengetahui tingkat kematangan kompos dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu :
a. Bau kompos.
Kompos yang sudah matang berbau seperti tanah dan harum. Apabila kompos tercium bau yang tidak sedap, berarti terjadi fermentasi anaerobik dan menghasilkan senyawasenyawa berbau yang mungkin berbahaya bagi tanaman. Apabila kompos masih berbau seperti bahan mentahnya berarti kompos masih belum matang.
b. Kekerasan bahan.
Kompos yang telah matang akan terasa lunak ketika dihancurkan. Bentuk kompos mungkin masih menyerupai bahan asalnya, tetapi ketika diremas – remas akan mudah hancur.
c. Warna kompos.
Kompos yang sudah matang adalah coklat kehitam – hitaman. Apabila kompos masih berwarna hijau atau warnanya mirip dengan bahan mentahnya berarti kompos tersebut belum matang. Selama proses pengomposan pada permukaan kompos seringkali juga terlihat miselium jamur yang berwarna putih.
d. Penyusutan.
Terjadi penyusutan volume/bobot kompos seiring dengan kematangan kompos. Besarnya penyusutan tergantung pada karakteristik bahan mentah dan tingkat kematangan kompos. Penyusutan berkisar antara 20 – 40 %. Apabila penyusutannya masih kecil/sedikit, kemungkinan proses pengomposan belum selesai dan kompos belum matang.
e. Suhu.
Suhu kompos yang sudah matang mendekati dengan suhu awal pengomposan. Suhu kompos yang masih tinggi, atau di atas 50oC, berarti proses pengomposan masih berlangsung aktif dan kompos belum cukup matang.

Terdapat beberapa manfaat dari penggunaan bokasi bagi tanaman, diantaranya, pupuk kompos / bokashi sangat berperan dalam proses pertumbuhan tanaman. Kompos tidak hanya menambah unsur hara, tetapi juga menjaga fungsi tanah sehingga tanaman dapat tumbuh dengan baik. Manfaat kompos bagi tanaman adalah :
1. Kompos memberikan nutrisi bagi tanaman Berdasarkan jumlah yang dibutuhkan tanaman, unsure hara yang diperlukan dibagi menjadi dua golongan. Unsur hara makro adalah unsur hara yang dibutuhkan dalam jumlah banyak seperti Nitrogen (N), Posfor (P), dan Kalium (K). Unsur hara mikro yaitu unsur yang dibutuhkan dalam jumlah yang sedikit seperti Kalsium (Ca), Magnesium (Mg), Belerang (S), Besi (Fe), Mangan (Mn), Klor (Cl), Molibdenum (Mo), dan lain-lain.
2. Kompos memperbaiki struktur tanah Kompos merupakan perekat pada butir-butir tanah dan mampu menjadi penyeimbang tingkat kerekatan tanah. Selain itu, kehadiran kompos pada tanah menjadi daya tarik bagi mikroorganisme untuk melakukan aktivitas pada tanah. Dengan demikian, tanah yang semula keras dan sulit ditembus air dan udara, kini dapat menjadi gembur akibat mikroorganisme. Struktur tanah yang gembur sangat baik bagi tanaman.
3. Kompos meningkatkan kapasitas tukar kation Kapasitas tukar kation (KTK) adalah sifat kimia yang berkaitan erat dengan kesuburan tanah. Tanah dengan KTK tinggi lebih mampu menyediakan unsur hara dari pada tanah dengan KTK rendah.
4. Kompos menambah kemampuan tanah untuk menahan air Tanah mempunyai pori-pori, yaitu suatu bagian yang tidak terisi bahan padat. Bagian yang tidak terisi ini akan diisi oleh air dan udara. Tanah yang bercampur dengan bahan organik seperti kompos mempunyai pori-pori dengan daya rekat yang lebih baik sehingga mampu mengikat serta menahan ketersediaan air didalam tanah. Kompos dapat menahan erosi secara langsung.
5. Kompos meningkatkan aktivitas biologi tanah Kompos berisi mikroorganisme yang menguntungkan tanaman. Jika berada di dalam tanah, kompos akan membantu kehidupan mikroorganisme di dalam tanah. Selain berisi bakteri dan jamur dekomposer, keberadaan kompos akan membuat tanah menjadi sejuk, kondisi ini disenangi oleh mikroorganisme.
6. Kompos mampu meningkatkan pH pada tanah asam Unsure hara lebih mudah diserap oleh tanaman kondisi pH tanah netral. Pada nilai ini, unsur hara menjadi mudah larut di dalam air. Jika tanah semakin asam maka dengan penambahan kompos pH tanah akan meningkat.
7. Kompos meningkatkan unsur hara mikro Disamping unsur hara makro, kompos juga menyediakan unsur hara mikro yang sangat penting bagi tanaman.
8. Kompos tidak menimbulkan masalah lingkungan Pupuk kimia dapat menimbulkan masalah lingkungan yaitu dapat merusak keadaan tanah dan air, sedangkan kompos justru memperbaiki sifat tanah dan lingkungan.


BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan praktikum dan hasil pengamatan yang didapatkan, maka dapat ditarik kesimpulan antara lain :

1. Pupuk kompos bokashi adalah pupuk organik yang diolah sedemikian rupa dengan melalui proses fermentasi yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik untuk tanaman.
2. Faktor yang mempengaruhi proses pengomposan antara lain : Rasio C/N, Suhu pengomposan, Tingkat Keasaman pH, Jenis mikroorganisme yang terlibat, Aerasi, Kelembapan, Ukuran bahan baku.
3. Untuk melihat tingkat kematangan kompos dapat ditentukan dari Bau kompos, Kekerasan bahan, Warna kompos, Penyusutan, Suhu.
4. Yang memiliki tingkat kegagalan tinggi adalah pembuatan pupuk kompos bokashi dengan menggunakan bahan utama sayuran.

5.2 Saran

Dalam melaksanakan praktikum dan pengamatan hendaknya lebih serius dan memperhatikan petunjuk/arahan dari asisten agar meminimalisir hal-hal yang tidak diinginkan dan praktikan diharapkan mampu mengaplikasikan hasil dari praktikum ini agar dapat mengolah limbah pertanian menjadi sesuatu yang lebih berguna.


DAFTAR PUSTAKA

Gomies.L dkk. 2012. Pengaruh Pupuk Organik Cair RI1 Terhadap Pertumbuhan Dan Produksi Tanaman Kubis Bunga (Brassica oleracea var. botrytis L.). Agrologia, Vol. 1, No. 1, April 2012, Hal. 13-20.

Hadiwiyoto, S. 1983. Penanganan dan Pemanfaatan Sampah. Yayasan Idayu. Jakarta.

Musnamar, E.I. 2003. Pupuk Organik Cair dan Padat, Pembuatan, Aplikasi. Penebar Swadaya. Jakarta.

Pramatmaja, W. A. 2008 Pengelolaan Sampah Secara Terpadu Di Dusun Karangbendo Banguntapan Bantul Yogyakarta. UUI. Yogyakarta.

Sirappa.M.P dan Razak.N. 2007. Kajian Penggunaan Pupuk Organik Dan Anorganik Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Padi Sawah. J. Agrivigor 6(3): 219-225.

Sulistyorini, L. 2005. Pengelolaan Sampah dengan Cara Menjadikannya Kompos. Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol. 2, No. 1, Juli 2005: 77-84.

Laporan Pengelolaan Limbah Pertanian - Pupuk Cair Organik

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Daur ulang limbah ternak berperanan dalam mencegah terjadinya pencemaran lingkungan, dan secara bersamaan juga meningkatkan produksi tanaman. Suatu hal yang cukup nyata bahwa limbah ternak yang cukup banyak dapat diubah menjadi pupuk organik yang berharga murah. Kotoran ternak mempunyai nilai pupuk (padat dan cair) yang tinggi dan mudah terdekomposisi. Cara tradisional yang umum dilaksanakan untuk meningkatkan kandungan bahan organik tanah, adalah menambahkan bahan yang belum matang dalam bentuk pupuk kandang, kompos atau bahan tanaman seperti pupuk hijau. Penggunaan pupuk kandang sebagai sumber hara tanaman merupakan praktek pertanian yang sudah lama dilaksanakan oleh petani di tanah sawah.

Dalam proses pertanian untuk membantu menyuburkan tanah dan tanaman diperlukan adanya pemupukan. Pupuk yang digunakan terdiri dari dua macam pupuk organik dan anorganik. Pupuk organik adalah pupuk yang memanfaatkan sampah daun, kotoran hewan dan seresah. Sedangkan pupuk anorganik seperti Urea, KCl, SP-36, dll. Pemupukan dilakukan sesuai kondisi tanaman dan tanah. Ketika tanaman kekurangan suatu unsur, maka dilakukan pemupukan. Selain pupuk tanaman juga memerlukan perawatan intensif seperti pengairan, pembajakan untuk menunjang pertumbuhan tanaman.

Pupuk organik merupakan hasil akhir dan atau hasil antara dari perubahan atau peruraian bagian dan sisa-sisa tanaman dan hewan. Misalnya bungkil, guano, tepung tulang dan sebagainya. Karena pupuk organik berasal dari bahan organik yang mengandung segala macam unsur maka pupuk ini pun mengandung hampir semua unsur (baik makro maupun mikro). Hanya saja, ketersediaan unsur hara tersebut biasanya dalam jumlah yang sedikit. Penggunaan pupuk organik yang dipadukan dengan penggunaan pupuk kimia dapat meningkatkan produktivitas tanaman dan pengurangan penggunakan pupuk kimia, baik pada lahan sawah maupun lahan kering. Telah banyak dilaporkan bahwa terdapat interaksi positif pada penggunaan pupuk organik dan pupuk kimia secara terpadu. Penggunaan pupuk kimia secara bijaksana diharapkan memberikan dampak yang lebih baik dimasa depan. Tidak hanya pada kondisi lahan dan hasil panen yang lebih baik, tetapi juga pada kelestarian lingkungan

1.2 Tujuan

1. Untuk mengetahui proses pembuatan pupuk cair.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan dalam pembuatan pupuk cair.


BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

Pada dasarnya, sampah organik tidak hanya bisa dibuat menjadi kompos atau pupuk padat, tetapi bisa juga dibuat sebagai pupuk cair. Pupuk cair ini mempunyai banyak manfaat. Mulai dari fungsinya sebagai pupuk, hingga sebagai aktivator untuk membuat kompos. Untuk membuat kompos cair dibutuhkan alat atau wadah yang disebut komposter. Yakni sebuah tempat yang dibuat dari tong sampah plastik atau kotak semen yang dimodifikasi dan diletakkan di dalam atau di luar ruangan. Komposter ini bertujuan untuk mengolah semua jenis limbah organik rumah tangga menjadi bermanfaat (Santi, 2010). Sebetulnya tidak mudah memanfaatkan kotoran ternak sebagai pupuk kandang tanpa mengandung limbah yang lain karena bersifat ruah dan mudah rusak. Penyebaran pupuk kandang ke lahan pertanian mengurangi kehilangan hara yang dikandung pupuk kandang. Cara terbaik untuk mengelola pupuk kandang adalah dengan melimdungi dari terik matahari langsung atau terkena air hujan sampai pupuk tersebut digunakan. Ada empat sistem yang umum dilakukan untuj menangani pupuk kandang : a. Mengumpulkan pupuk kandang segar setiap hari dan ditaburkan langsung di lahan. b. Disimpan dalam lubang atau ditimbun dan dihindarkan dari terik matahari langsung dengan diberi pelindung/penutup. Biarkan pupuk kandang tersebut mengalami proses fermentasi sebelum digunakan. c. Pupuk cair disimpan dalam kondisi aerob dan dilakukan perlakuan tertentu sebelum digunakan. d. Pupuk cair disimpan secara anaerob dan dilakuakn perlakuan tertentu sebelum digunakan (Sutanto, 2002).

Pupuk organik merupakan pupuk yang bahannya berasal dari bahan organik seperti: tanaman, hewan ataupun limbah organik. Bahan-bahan yang dapat digunakan sebagai pupuk organik misalnya: jerami, tanaman perdu, tanaman legum, sekam, bekas gergajian kayu, dll. Pupuk organik menjadi bahan untuk perbaikan struktur tanah yang terbaik dan alami. Pemberian pupuk organik pada tanah akan memperbaiki struktur tanah dan menyebabkan tanah mampu mengikat air lebih banyak. Pupuk organik memiliki ciri-ciri umum memiliki kandungan hara rendah, namun kandungan hara bervaraiasi tergantung bahan yang digunakan; ketersediaan unsur hara lambat, hara tidak dapat langsung diserap oleh tanaman, memerlukan perobakan atau dikomposisi baru dapat terserap oleh tanaman; jumlah hara tersedia dalam jumlah yang terbatas (Hanolo, 2007). Saat ini ada beberapa jenis pupuk organik sebagai pupuk alam berdasarkan bahan dasarnya, yaitu pupuk kandang, kompos, humus, pupuk hijau, dan pupuk mikroba. Sedangkan ditinjau dari bentuknya ada pupuk organik cair dan ada pupuk organik padat. Sebagai contoh kompos merupakan contoh pupuk organik padat yang dibuat dari bahan organik padat (tumbuh-tumbuhan), sedangkan thilurine adalah pupuk organik cair yang dibuat dari bahan organik cair (urine sapi). Pupuk organik dapat dibuat dari limbah, contohnya limbah peternakan sapi perah, baik berupa feses maupun urinenya dapat dijadikan bahan pembuatan pupuk organik. (Musnamar, 2003).

Jenis sampah organik yang bisa diolah menjadi pupuk organik adalah : a. Sampah sayuran b. Sisa sayur basi, tetapi ini harus dicuci dulu, peras, lalu buang airnya c. Sisa nasi d. Sisa ikan, ayam, kulit telur e. Sampah buah (anggur, kulit jeruk, apel dan lain-lain). Tapi tidak termasuk kulit buah yang keras seperti kulit salak. Sedangkan jenis sampah yang tidak bisa diolah antara lain : a. Protein seperti daging, ikan, udang, juga lemak, santan, susu karena mengundang lalat sehingga tumbuh belatung. b. Biji – biji yang utuh atau keras seperti biji salak, asam, lengkeng, alpukat, dan sejenisnya. Buah utuh yang tidak dimakan karena busuk dan berair seperti pepaya, melon, jeruk, anggur. c. Sisa sayur yang berkuah harus dibuang airnya, kalau bersantan harus dibilas air dan ditiriskan (Rahmi, 2007).

Kelebihan dari pupuk cair organik adalah dapat secara cepat mengatasi defesiensi hara, tidak bermasalah dalam pencucian hara dan mampu menyediakan hara secara cepat. Dibandingkan dengan pupuk cair anorganik, pupuk organik cair umumnya tidak merusak tanah dan tanaman walaupun sesering mungkin digunakan. Selain itu, pupuk ini juga memiliki bahan pengikat, sehingga larutan pupuk yang diberikan ke permukaan tanah bisa langsung digunakan oleh tanaman. Pupuk cair dikatakan bagus dan siap diaplikasikan jika tingkat kematangannya sempurna. Pengomposan yang matang bisa diketahui dengan memperhatikan keadaan bentuk fisiknya, dimana fermentasi yang berhasil ditandai dengan adanya bercak – bercak putih pada permukaan cairan. Cairan yang dihasilkan dari proses ini akan berwarna kuning kecoklatan dengan bau yang menyengat (Purwendro dan Nurhidayat, 2007).


BAB 3. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Praktikum Pengelolaan Limbah dalam pembuatan pupuk cair dilaksanakan pada tanggal 21 November 2012 pukul 14.00 WIB di Jurusan Hama Penyakit Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Jember.

3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
1. Timba berukuran 25 kg
2. Tutup Timba
3. Pisau
4. Kayu Pengaduk
5. Gelas Ukur

3.2.2 Bahan

1. Buah busuk
2. Sayur busuk
3. Tanaman leguminase
4. Kotoran Sapi
5. Kotoran kambing
6. Kotoran Ayam
7. Gulma
8. Air Kelapa
9. EM-4
10. Air
11. Molase
12. Terasi

3.3 Cara Kerja

1. Membuat larutan molase yang dicampur dengan EM-4, terasi, dan air kelapa pada timba cat 25 kg.
2. Memotong bahan sampai berukuran kecil-kecil dengan menggunakan pisau.
3. Memasukkan bahan beserta larutan molase dan air sampai penuh ke dalam timba cat 25 kg .
4 Menutup timba dengan plastik dan mengikatnya secara kuat dengan karet ban dan menjaga jangan sampai plastik berlubang sehingga udara masuk karena pendekomposisian dengan anaerob.
5. Menempatkan timba pada tempat yang tidak terkena sinar matahari secara langsung.
6. Mengamati pupuk cair setelah 10 hari dengan indikasi pupuk cair terdekomposisi sempurna jika pada permukaan larutan terdapat jamur yang berwarna putih.



BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
Data Hasil Pengamatan
Kelompok
Perlakuan bahan
Hasil
1
10  kg kotoran kambing
5 kg sayuran
1 lt EM4

Bau: Tidak berbau
Warna: Coklat pekat
Kepekatan: Encer
Tekstur : Kasar
2
10 kg kotoran sapi
5 kg buah busuk
1 lt EM4

Bau: Wangi kecut
Warna : Coklat kekuningan
Kepekatan : Encer
Tekstur : Kasar
3
10 kg kotoran ayam
5 kg daun leguminosa
1 lt EM4

Bau : Agak bau
Warna: Kuning kecoklatan
Kepekatan: Encer
Tekstur: Kasar
4
10 kg kotoran kambing + ayam + sapi
5 kg gulma
1 lt EM4

Bau : Wangi
Warna : Kuning kecoklatan
Kepekatan : Sangat encer
Tekstur : Kasar


4.2 Pembahasan

Pupuk organik cair adalah larutan dari pembusukan bahan-bahan organic yang berasal dari sisa tanaman, kotoran hewan, dan manusia yang kandungan unsur haranya lebih dari satu unsur. Kelebihan dari pupuk organik ini adalah dapat secara cepat mengatasi defesiensi hara, tidak masalah dalam pencucian hara, dan mampu menyediakan hara secara cepat. Dibandingkan dengan pupuk cair anorganik, pupuk organik cair umumnya tidak merusak tanah dan tanaman walaupun digunakan sesering mungkin. Selain itu, pupuk ini juga memiliki bahan pengikat, sehingga larutan pupuk yamg diberikan ke permukaan tanah bisa langsung digunakan oleh tanaman.

Pupuk cair lebih mudah terserap oleh tanaman karena unsur-unsur di dalamnya sudah terurai. Tanaman menyerap hara terutama melalui akar, namun daun juga punya kemampuan menyerap hara. Sehingga ada manfaatnya apabila pupuk cair tidak hanya diberikan di sekitar tanaman, tapi juga di bagian daun yang dekat dengan stomata. Penggunaan pupuk cair lebih memudahkan pekerjaan, dan penggunaan pupuk cair berarti kita melakukan tiga macam proses dalam sekali pekerjaan, yaitu memupuk tanaman, menyiram tanaman dan mengobati tanaman.

Pupuk organik cair mempunyai beberapa manfaat diantaranya dapat mendorong dan meningkatkan pembentukan klorofil daun dan pembentukan bintil akar pada tanaman leguminosae sehingga meningkatkan kemampuan fotosintesis tanaman dan penyerapan nitrogen dari udara, dapat meningkatkan vigor tanaman sehingga tanaman menjadi kokoh dan kuat, meningkatkan daya tahan tanaman terhadap kekeringan, cekaman cuaca dan serangan patogen penyebab penyakit, merangsang pertumbuhan cabang produksi, serta meningkatkan pembentukan bunga dan bakal buah, serta mengurangi gugurnya daun, bunga dan bakal buah. Pemberian pupuk organik cair harus memperhatikan konsentrasi atau dosis yang diaplikasikan terhadap tanaman. Pemberian pupuk organik cair melalui daun memberikan pertumbuhan dan hasil tanaman yang lebih baik daripada pemberian melalui tanah. Semakin tinggi dosis pupuk yang diberikan maka kandungan unsur hara yang diterima oleh tanaman akan semakin tinggi, begitu pula dengan semakin seringnya frekuensi aplikasi pupuk daun yang dilakukan pada tanaman, maka kandungan unsur hara juga semakin tinggi. Namun, pemberian dengan dosis yang berlebihan justru akan mengakibatkan timbulnya gejala kelayuan pada tanaman.

Ciri-ciri dari pembuatan pupuk cair organik yang berhasil diantaranya yaitu baunya seperti anggur, serta adanya bercak-bercak putih (semakin banyak, semakin bagus) dan warnanya kuning kecoklatan (seperti minyak goreng yang sudah dipakai). Namun, dalam pembuatan pupuk cair ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tingkat keberhasilan dan kegagalannya. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat keberhasilan dalam pembuatan pupuk organik cair diantaranya adalah :

a. Aerasi timbunan. Aerasi berhubungan erat dengan kelengasan. Apabila terlalu anaerob mikrobia yang hidup hanya mikrobia anaerob saja, mikrobia aerob mati atau terhambat pertumbuhannya. Sedangkan bila terlalu aerob udara bebas masuk ke dalam timbunan bahan yang dikomposkan umumnya menyebabkan hilangnya nitrogen relatif banyak karena menguap berupa NH3.
b. Bahan yang digunakan jangan bahan yang sudah busuk, karena bahan yang sudah busuk terdapat bakteri yang nantinya bakteri tersebut dapat mengganggu perkembangan dari bakteri EM4 dalam mendekomposisi bahan yang digunakan dalam pembuatan pupuk cair.
c. Dalam pembuatan pupuk cair, bakteri EM4 harus sudah siap hidup di lingkungan yang berbeda, hal ini penting dalam pembuatan pupuk cair. Bakteri EM 4 sebaiknya dibuat 1 minggu sebelum pembuatan pupuk cair dilakukan.
d. Pemotongan bahan yang digunakan, potongan bahan yang baik digunakan untuk pembuatan pupuk cair adalah yang potongannya kecil. Hal ini dikarenakan agar bakteri EM4 lebih mudah dalam mendengkomposisi bahan tersebut, karena bakteri EM4 mudah dalam memotong rantai karbon pada bahan tersebut sehingga membentuk rantai carbon yang lebih sederhana.
e. Kegiatan dan kehidupan mikrobia sangat dipengaruhi oleh kelembaban yang cukup, tidak terlalu kering maupun basah atau tergenang.
f. Peletakan tempat pembuatan pupuk cair, dalam pembuatan pupuk cair sebaiknya ditempat yang teduh agar bakteri EM4 tidak terkena sinar matahari langsung,apabila bakteri EM4 terkena sinar matahari langsung, maka bakteri tersebut akan mati akibat sinar inframerah dari matahari. Untuk penyimpanan bahan yang telah dibuat sebaiknya diletakkan di tempat yang teduh agar suhu dan temperatur dari pupuk cair yang dibuat dapat sesuai dengan lingkungan yang cocok untuk pertumbuhan bakteri EM4.

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan oleh setiap kelompok menunjukkan hasil yang relatif sama antar perlakuan. Pada kelompok 1, pupuk cairnya menunjukkan warna coklat pekat namun tidak berbau dan memiliki kepekatan yang encer disertai dengan tekstur yang kasar. Sementara pada kelompok 2 pupuk cairnya menunjukkan warna coklat kekuningan dengan bau wangi kecut, tingkat kepekatan yang ecner dan tekstur yang kasar. Untuk kelopmpok 3 pupuk cairnya menunjukkan warna kuning kecoklatan dan agak bau disertai dengan kepekatan yang encer dan tekstur yang kasar. Dan pada kelompok 4, pupuk cairnya menunjukkan warna kuning kecoklatan dengan bau yang wangi dan tingak kepekatan yang sangat encer serta tekstur yang kasar.


BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan praktikum dan hasil pengamatan yang didapatkan, maka dapat ditarik kesimpulan antara lain :

1. Pupuk organik cair adalah larutan dari pembusukan bahan-bahan organik yang berasal dari sisa tanaman, kotoran hewan, dan manusia yang kandungan unsur haranya lebih dari satu unsur.
2. Faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilan dalam pembuatan pupuk cair diantaranya adalah, suhu, kelembapan, intensitas cahaya, komposisi media, waktu pembuatan, serta ukuran bahan yang digunakan dalam pembuatan pupuk cair.
3. Indikator keberhasilan pupuk cair adalah pupuk cair berwarna coklat kekuningan dan tidak memiliki bau yang menyengat disertai adanya jamur putih yang ada di permukaan larutan molase.
4. Kelebihan dari pupuk cair organik adalah dapat secara cepat mengatasi defesiensi hara, tidak bermasalah dalam pencucian hara dan mampu menyediakan hara secara cepat.

5.2 Saran

Dalam melaksanakan praktikum dan pengamatan hendaknya lebih serius dan memperhatikan petunjuk/arahan dari asisten agar meminimalisir hal-hal yang tidak diinginkan dan praktikan diharapkan mampu mengaplikasikan hasil dari praktikum ini agar dapat mengolah limbah pertanian menjadi sesuatu yang lebih berguna.


DAFTAR PUSTAKA

Hanolo, W. 2007. Tanggapan Tanaman Selada dan Sawi Terhadap Dosis dan Cara Pemberian Pupuk Cair Stimulan. Jurnal Agrotropika. Volume 1(1) : 25-29

Musnamar, E.I. 2003. Pupuk Organik Cair dan Padat, Pembuatan, Aplikasi. Penebar Swadaya, Jakarta.

Purwendro, D. dan Nurhidayat T. 2007. Pembuatan Pupuk Cair. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Rahmi, A dan Jumiati. 2007. Pengaruh konsentrasi dan waktu penyemprotan pupuk cair organik cair super ACI terhadap pertumbuhan dan hasil Jagung Manis. Agritop 26(3) : 105-109.

Santi.S.S. 2010. Kajian Pemanfaatan Limbah Nilam Untuk Pupuk Cair Organik Dengan Proses Fermentasi. Jurnal Teknik Kimia Vol.4, No.2, April 2010.

Sutanto, Rachman. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Kanisius. Yogyakarta

Laporan Pengelolaan Limbah Pertanian - Bakteri E. coli

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Limbah merupakan salah satu hasil sisa yang tidak dapat dipakai lagi, apabila limbah ini terlalu banyak dilingkungan maka akan berdampak pada pencemaran lingkungan dan berdampak pada kesehatan dari masyarakat sekitar. Limbah dibagi menjadi dua bagian sumber yaitu limbah yang bersumber domestik (limbah rumah tangga) dan limbah yang berasal dari non-domestik (pabrik, industri dan limbah pertanian). Bahan-bahan yang termasuk dari limbah harus memiliki karakteristik diantaranya adalah mudah meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif, beracun, menyebabkan infeksi, bersifat korosif dan lain-lain. Masalah utama yang dihadapi oleh sumber daya air meliputi kuantitas air yang sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan yang terus meningkat dan kualitas air untuk keperluan domestik yang semakin menurun. Kegiatan industri, domestik, dan kegiatan lain berdampak negatif terhadap sumber daya air, antara lain menurunkan kulitas air. Kondisi ini dapat menimbulkan gangguan, kerusakan, dan bahaya bagi makhluk hidup yang bergantung pada sumber daya air. Oleh karena itu, diperlukan pengelolaan dan perlindungan sumber daya air secara seksama. 

Air merupakan salah satu komponen penting kebutuhan hidup manusia. Air bersih dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan air minum, memasak, mandi maupun mencuci. Pemenuhan kebutuhan air bersih saat ini sudah mulai berkurang, karena penurunan kualitas maupun kuantitas air di lingkungan. Penurunan kualitas air dapat disebabkan karena pencemaran air. Akibat yang ditimbulkan oleh pencemaran air menjadi masalah yang besar. Dampak langsung dari pencemaran air adalah terjadi degradasi air di mana-mana, baik itu di air tanah, air sungai, maupun air laut. Sedangkan pencemaran itu sendiri dapat terjadi akibat adanya bakteri Untuk mengetahui dampak pencemaran air oleh adanya bakteri adalah dengan mengisolasi limbah yang mengandung bakteri, yang dalam hal ini adalah bakteri E. coli. Air juga merupakan sebagai medium pembawa mikroorganisme patogenik yang berbahaya bagi kesehatan. Patogen yang sering ditemukan di dalam air terutama adalah bakteri-bakteri penyebab infeksi saluran pencernaan seperti Vibrio cholarae penyebab penyakit kolera, Shigella dysenteriae penyebab disentri basiler, salmonella thyposa penyebab tifus dan S. Paratyphi penyebab para paratifus, virus polio dan hepatitis, dan Entamoeba histolytica penyebab disentri amoeba. Untuk mencegah penyebaran penyakit melalui air perlu dilakukan kontrol terhadap polusi air dengan pemeriksaan E. coli.

1.2 Tujuan

1. Agar mahasiswa mengetahui tentang karakteristik dan morfologi dari bakteri Escherichia coli.
2. Agar mahasiswa memahami tentang dampak dari bakteri E.coli bagi kesehatan masyarakat.


BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

Kandungan mikroorganisme dalam air limbah sangat berbeda tergantung pada lokasi dan waktu, sehingga kebersihan dan kontaminasi air limbah sangat erat dengan lingkungan sekitar. Untuk mempertahankan hidupnya, mikroorganisme melakukan adaptasi dengan lingkungannya. Adaptasi ini dapat terjadi secara cepat dan bersifat sementara, ada juga yang bersifat permanen yang dapat mempengaruhi bentuk morfologi dan fisiologi secara turun temurun. Oleh karena itu, dalam pembuangan limbah baik yang domestik maupun yang non-domestik di daerah pemukiman sebaiknya dilakukan penataan ulang lokasi pembuangan limbah, agar aliran limbah dari masing-masing pemukiman penduduk dapat terkoordinasi dengan baik, dan tidak menimbulkan penyakit yang meresahkan kehidupan penduduk sekitar (Deni, 2004). Mikroorganisme yang paling umum digunakan sebagai petunjuk atau indikator adanya pencemaran faeces dalam air adalah Escherichi coli (E. coli), serta bakteri dari kelompok koliform. Bakteri dari jenis tersebut selalu terdapat di dalam kotoran manusi, sedangkan bakteri patogen (penyebab penyakit) tidak selalu ditemukan.

Mikroorganisme dari kelompok koliform secara keseluruhan tidak umum hidup atau terdapat di dalam air, sehingga keberadaanya dalam air dapat dianggap sebagai petunjuk terjadinya pencemaran kotoran dalam arti luas, baik dari kotoran hewan maupun manusia. Bakteri koliform meliputi semua bakteri berbentuk batang, gram negatif, tidak membentuk spora, dan dapat memfermentasi laktosa dengan memproduksi gas dan asam pada suhu 370C dalam waktu kurang dari 48 jam. Adapun bakteri E. coli selain memiliki karakteristik seperti bakteri koliform pada umumnya, juga dapat menghasilkan senyawa indole di dalam air pepton yang mengandung asam amino triptofan, serta tidak dapat menggunakan natrium sitrat sebagai satu – satunya sumber karbon (Purnawijayanti, 2001). Escherichia coli adalah salah satu bakteri yang tergolong koliform dan hidup secara normal di dalam kotoran manusia maupun hewa, oleh karena itu disebut juga koliform fekal. Bakteri koliform lainnya berasal dari hewan dan tanaman mati dan disebut kolifrom non fekal, misalnya Entrobacter aerogenes, E. coli adalah grup koliform yang mempunyai sifat dapat menfermentasi lactose dan memproduksi asam dan gas pada suhu 370C maupun suhu 44,5 + 0,50C dalam waktu jam 48. Sifat ini digunakan untuk membedaka E. coli dari Enterobacter, karena Enterobacter tidak dapat membentuk gas dari lactose pada suhu 44,5 + 0,50C. E. coli adalah bakteri yang termasuk dalam family Enterobacteriaceae, bersifat gram negative, berbentuk batang dan tidak membentuk spora (Fardiaz, 1992).

E. coli adalah jenis bakteri coliform tinja biasanya ditemukan di usus hewan dan manusia. E. coli adalah singkatan dari Escherichia coli. Bakteri E-coli dalam air berasal dari pencemaran atau kontaminasi dari kotoran hewan dan manusia. Kotoran dapat berisi banyak jenis organisme penyebab penyakit. Escherichia coli enterohemoragik (EHEK) adalah salah satu bakteri usus patogen yang dapat menyebabkan diare hemoragik colitis (HC), hemolitic-uremic syndrome (HUS) . Bakteri E.coli dalam hal ini dapat menyebabkan diare berkelanjutan dan HUS. Mengingat masih rendahnya tingkat sanitasi lingkungan di negara berkembang, penyakit diare yang disebabkan oleh bakteri E.coli patogen menjadi masalah penting apabila terjadi wabah. Toksin ini bekerja dengan cara menghilangkan satu basa adenin dari unit 28S rRNA, sehingga menghentikan sintesis protein.Makanan yang terkontaminasi bakteri E.coli khususnya EHEK menyebabkan diare yang disertai pendaraltan, karena toksin SLT (Shiga like toxin) yang dihasilkannya (Dadang, 2000). Sebagai patogen, Escherichia coli sangat terkenal karena kemampuannya menyebabkan penyakit saluran cerna pada manusia. Lima kelas (virotipe) E. coli meeliputi virotipe enteropathogenic E. coli (EPEC), enetero-agregative E. coli(EaggEC), enteroinvasi E. coli (EIEC), eneterohemorrhagic E. coli (EHEC) dan setiap virotipe memiliki ciri-ciri patogenitas tersendiri. EHEC memiliki daya invasi yang moderat (biasa). Tidak memiliki antigen kolonisasi, tetapi fimbrienya diduga berperan besar dalam mengivasi inang. Bakteri ini tidak menyerang mukosa sel seperti Shigella, tetapi strain EHEC menghasilkan toksin yang identik dengan toksik Shigella dysentriae tipe 1 sehingga dikenal sebagai Shiga toksin atau istila Verocytotoxin Escherichia coli (VTEC) (Suardana dkk, 2007).

Manusia yang terpapar oleh kuman E.coli O157:H7 disebabkan oleh kontak langsung dengan hewan infektif atau akibat mengkonsumsi makanan seperti daging, buah, sayur, air yang telah terkontaminasi serta susu yang belum dipasteurisasi. Manure (kotoran sapi) merupakan sumber penularan E.coli O157:H7 terhadap manusia. Apabila lahan pertanian menggunakan manure sebagai pupuk organik, maka kemungkinan besar akan menjadi sumber penularan kuman pathogen melalui makanan, contohnya kentang, cedar apel, sawi, kol dan jenis sayuran lainnya. Peningkatan keamanan pangan terhadap makanan asal hewan yang akan dikonsumsi manusia dan penanganan buah atau sayur-sayuran segar yang dipupuk dengan kotoran sapi, perlu ditegakkan untuk mencegah dan menurunkan prevalensi food borne pathogens selama dalam mata rantai penyiapan makanan mulai dari produksi protein hewani di peternakan sampai dengan di tingkat rumah tangga (Sartika dkk, 2005).


BAB 3. METODOLOGI

3.1. Waktu dan Tempat

Praktikum Pengelolaan Limbah Pertanian dengan judul “Mengenal Bakteri Escherichia coli” dilaksanakan di Laboratorium Jurusan Hama dan Penyakit, Fakultas Pertanian, Universitas Jember pada tanggal 31 November 2012 pada jam 14.00 s/d selesai.

3.2. Bahan dan Alat
3.2.1 Bahan
1. Suspensi bahan yang mengandung bakteri atau campuran biakkan bakteri.
2. Nutrien agar tegak dan nutrient agar miring
3. Petridish Steril

3.3 Cara Kerja
A. Cara goresan
1. Mencairkan nutrient agar dalam penangas air.
2. Mendinginkan sampai suhunya sekitar 500C.
3.Menuangkan medium tersebut dalam cawan petri steril secara aseptis, membiarkan sampai dingin
4. Mengambil 1 ose suspense bahan yang mengandung bakteri dan secara aseptik goreskan pada permukaan medium nutrient agar. Diharapkan pada akhir goresan akan tumbuh koloni koloni yang terpisah dan dapat disolasi lebih lanjut.
5. Setelah selesai digores menutup kembali petridis dengan posisi terbalik dengan dibungkus dan inkubasikan pada tempat inkubasi dengan suhu 370C.
6. Setelah 48 jam mengamati pertumbuhan bakteri, yang ditandai tumbuhnya koloni yang terpisah.
7. Memilih dari masing-masing tipe koloni yang terpisah tersebut satu koloni yang diperkirakan berasal dari satu jenis bakteri.
8. Mengambil secara aseptic dengan ose atau koloni yang dikehendaki dan suspensikan dalam air steril untuk diamati dan diuji lebih lanjut bentuk morfologi dan sifat fisiologinya.

B. Cara Taburan
1. Mensuspensikan bahan yang mengandung bakteri dengan maksud agar koloni bakteri dapat terpisah pisah sehingga dapat mudah untuk diisolasi.
2. Mencairkan nutrient agar dalam penangas air.
3. Mendinginkan nutrient agar tersebut sampai suhunya sekitar 500C, selanjutnya menginokulasi dengan 1 ose suspensi bahan yang mengandung secara aseptic,dan gojog secara hati-hati supaya tercampur merata
4. Menuangkan kedalam petridis secara aseptic dan ratakan. 5. Selanjutnya mengerjakan seperti acara diatas (no.5 dan seterusnya).


BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
No.
Limbah Cair
Keterangan
1.
Rumah Tangga
Ulangan I





Ulangan II

Ulangan I
-  Jumlah koloni : 88
-  Bentuk Koloni: Bulat
-  Tepi Koloni: Rata
-  Morfologi Sel : Bulat
-  Bau: Menyengat
-  Warna : Putih

Ulangan II
-  Jumlah koloni : 148
-  Bentuk Koloni: Bulat
-  Tepi Koloni: Bulat
-  Morfologi Sel : Bulat
-  Bau: Menyengat
-  Warna : Putih
2.
Tekstil
Ulangan I








Ulangan II

Ulangan I
-  Jumlah koloni : 47
-  Bentuk Koloni: Bulat
-  Tepi Koloni: Rata
-  Morfologi Sel : Bulat
-  Bau: Menyengat
-  Warna : Putih




Ulangan II
-  Jumlah koloni : 47
-  Bentuk Koloni: Bulat
-  Tepi Koloni: Rata
-  Morfologi Sel : Bulat
-  Bau: Menyengat
-  Warna : Putih
3.
Rumah Tangga
Ulangan I





Ulangan II
Ulangan I
-  Jumlah koloni : 2
-  Bentuk Koloni: Bulat
-  Tepi Koloni: Rata
-  Morfologi Sel : Bulat
-  Bau: Menyengat
-  Warna : Putih

Ulangan II
-  Jumlah koloni : 8
-  Bentuk Koloni: Bulat
-  Tepi Koloni: Rata
-  Morfologi Sel : Bulat
-  Bau: Menyengat
-  Warna : Putih
4.
Karet
Ulangan I






Ulangan II

Ulangan I
-  Jumlah koloni : 239
-  Bentuk Koloni: Bulat
-  Tepi Koloni: Rata dan Bergelombang
-  Morfologi Sel : Bulat
-  Bau: Menyengat
-  Warna : Putih


Ulangan II
-  Jumlah koloni : 226
-  Bentuk Koloni: Bulat
-  Tepi Koloni: Rata
-  Morfologi Sel : Bulat
-  Bau: Menyengat
-  Warna : Putih



4.2 Pembahasan

Bakteri Escherichia coli merupakan bakteri berbentuk batang dengan panjang sekitar 2 micrometer dan diamater 0,5 micrometer. Volume sel E. coli berkisar 0,6 – 0,7 micrometer kubik. Bakteri ini termasuk umumnya hidup pada rentang 20 - 400 C, optimum pada 370. Bakteri Escherichia coli hidup di usus besar manusia yang berfungsi membusukkan sisa-sisa makanan. Dari sekian ratus strain E. coli yang teridentifikasi, hanya sebagian kecil bersifat pathogen, misalnya strain O157 : H7. E. coli merupakan anggota family Enterobacteriaceae. Memiliki ukuran sel dengan panjang 2,0 – 6,0 μm dan lebar 1,1 – 1,5 μm. Bentuk sel dari bentuk seperti coocal hingga membentuk sepanjang ukuran filamentous. Selnya bisa terdapat tunggal, berpasangan, dan dalam rantai pendek, biasanya tidak berkapsul. Bakteri ini aerobic dan dapat juga aerobic fakultatif. E. coli merupakan penghuni normal usus, seringkali menyebabkan infeksi. Morfologi Kapsula atau mikrokapsula terbuat dari asam - asam polisakarida. Mukoid kadang - kadang memproduksi pembuangan ekstraselular yang tidak lain adalah sebuah polisakarida dari speksitifitas antigen K tententu atau terdapat pada asam polisakarida yang dibentuk oleh banyak E. coli seperti pada Enterobacteriaceae.

Adanya penurunan kualitas air yang terjadi ada yang disebabkan tercemarnya air oleh bakteri. Kebanyakan bakteri yang terdapat pada air yang terinfeksi adalah bakteri Escherichia coli. Untuk mengetahui keberadaannya ialah dengan cara mengisolasi bakteri yang ada pada beberapa limbah dengan dua metode isolasi dan selanjunya adalah membandingkan jumlah bakteri antar limbahnya dan antar metode, yakni metode isolasi pour plate dan streak plate. Penggunaan metode isolasi tersebut terdapat perbedaan yang sangat mencolok jumlah koloni bakteri E-coli yang dadapatkan. Isolasi bakteri Escherichia coli ini dilakukan dengan dua macam teknik isolasi yaitu teknik isolasi teknik isolasi streak plate dan pour plate. Kedua teknik atau metode tersebut mempunyai prinsip yang sama yaitu mengencerkan organisme sehingga individu spesies dapat dipisahkan dari lainnya. Pada metode streak plate dilakukan dengan baik biasanya akan menghasilkan terisolasinya mikroorganisme seperti yang diinginkan. Sedangkan untuk metode pour plate tidak memerlukan keterampilan yang terlampau tinggi, sebab media yang dibutuhkan hanya dituangkan pada cawan petri.

Berdasarkan data yang didapatkan dari praktikum, Limbah Rumah Tangga pada kelompok 1 baik pada ulangan I dan ulangan II memiliki morfologi yang sama dari bentuk koloni (bulat), bentuk tepi koloni (rata), morfologi sel (bulat), bau (menyengat), dan warna (putih). Namun terdapat perbedaan pada jumlah koloni pada ulangan I berjumlah 88 sedangkan ulangan II berjumlah 148. Pada Limbah Tekstil kelompok 2 juga memiliki kesamaan morfologi dari bentuk koloni (bulat), bentuk tepi koloni (bulat), morfologi sel (bulat), bau (menyengat), dan warna (putih). Jumlah koloni ulangan I sebanyak 47 dan ulangan II sebanyak 135. Sementara Limbah Rumah Tangga pada kelompok 3 juga memiliki kesamaan pada bentuk koloni (bulat), morfologi sel (bulat), warna (putih). Perbedaan terletak pada bentuk tepi koloni ulangan I yang rata sedangkan pada ulangan II bergerigi, bau limbah ulangan I yang agak menyengat, ulangan II yang menyengat. Jumlah koloni ulangan I sebanyak 2 dan jumlah koloni ulangan II sebanyak 8. Dan untuk Limbah Karet kelompok 4 kesamaan morfologi juga ditemukan yaitu bentuk koloni (bulat), bentuk tepi koloni (rata dan bergelombang), morfologi sel (bulat), bau (menyengat), warna (putih). Jumlah koloni ulangan I sebanyak 239, dan ulangan II sebanyak 226.

Di dalam cairan limbah yang telah diuji ternyata mengandung bakteri yang dapat berpotensi menimbulkan berbagai dampak negatif bagi kelestarian lingkungan maupun kesehatan makhluk hidup sekitar terutama manusia. Dari poin diatas, pengelolaan limbah cair perlu dilakukan secara tepat dan tidak langsung dibuang tanpa dilakukan pengolahan terlebih dahulu untuk mengurangi kadar racun yang terkandung dalam limbah tersebut. Pembuangannya pun tidak boleh sembarangan harus ada tempat khusus yang sudah sesuai dengan standar agar tidak menimbulkan kerusakan lingkungan sekitar. Apabila pembuangan limbah tersebut dilakukan secara sembarangan, ditakutkan berbagai macam organisme maupun mikroorganisme yang menguntungkan mungkin juga akan terpengaruhi jika cairan limbah yang dibuang. Sehingga terjadi kerusakan ekosistem yang berdampak negative bagi kerblanjutan hidup alam sekitarnya.


DAFTAR PUSTAKA

Dadang, S. 2000. DETEKSI CEPAT BAKTERI Escherichia coli ENTEROHEMORAGIK (EHEK) DENGAN METODE PCR (POLYMERASE CHAIN REACTION). Jurnal Risalah Pertemuan Ilmiah Penelitian dan Pengembangan teknologi IsoIop dan Radiasi 1-7.

Deni, L. 2004. Kandungan Mikroorganisme Pada Limbah Cair. Tiga Serangkai. Jakarta.

Fardiaz, S. 1992. Polusi Air dan Udara. Kanisius. Yogyakarta.

Purnawijayanti, H. 2001. Sanitasi, Higiene, dan Keselamatan Kerja dalam Pengolahan Makanan. Kanisius Yogyakarta.

Sartika, dkk. 2005. Analisis Mikrobiologi Escherichia Coli O157:H7 Pada Hasil Olahan Hewan Sapi Dalam Proses Produksinya. Makara, Kesehatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2005: 23-28 23.

Suadarna, dkk. 2007. Isolasi dan Identifikasi Escherichia coli 0157:H7 pada Daging Sapi di Kabupaten Badung Provinsi Bali. J. Vet 8 (1) : 16 -23.